Rumah sakit bukan hanya tempat orang mencari kesembuhan, tetapi juga ruang kerja yang penuh risiko. Di balik upaya tenaga medis memberikan layanan terbaik, tersembunyi ancaman bahaya dari bahan kimia, risiko ergonomi, paparan fisik, hingga tekanan psikososial. Bukan hanya tenaga kesehatan yang rentan, melainkan juga pasien, pengunjung, dan bahkan masyarakat sekitar rumah sakit.
Karena itu, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di rumah sakit sejatinya bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan kebutuhan mendesak untuk menciptakan budaya keselamatan yang menyeluruh.
Budaya Keselamatan, Bukan Formalitas
Budaya keselamatan bukan hanya slogan. Ia hidup melalui kebiasaan, nilai, dan sikap yang konsisten: penggunaan alat pelindung diri, kejujuran dalam melaporkan insiden, simulasi evakuasi darurat yang rutin, hingga penanganan limbah medis secara benar. Tanpa budaya ini, rumah sakit akan mudah kehilangan kepercayaan publik karena meningkatnya risiko infeksi, kecelakaan kerja, hingga kasus pencemaran lingkungan.
Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, masih banyak rumah sakit yang memperlakukan K3 hanya sebagai syarat akreditasi. Begitu proses akreditasi selesai, komitmen K3 sering kali meredup. Padahal, risiko kebakaran, infeksi nosokomial, maupun pencemaran limbah B3 bisa terjadi kapan saja, tanpa mengenal jadwal akreditasi.
Aturan Sudah Lengkap, Penerapan Masih Tertatih
Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat regulasi yang cukup lengkap. Mulai dari UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hingga PP No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 yang mewajibkan perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang atau berisiko tinggi untuk menerapkan SMK3.
Lebih khusus lagi, ada Permenkes No. 66 Tahun 2016 tentang K3RS, KMK No. 1087 tentang standar K3RS, serta Permenkes No. 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Kombinasi regulasi tersebut seolah menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi rumah sakit untuk abai.
Namun, di lapangan kita masih menemukan hambatan. Tenaga K3RS yang kompeten jumlahnya terbatas, alokasi dana sering kali minim, dan kesadaran pekerja maupun pasien terhadap pentingnya keselamatan masih rendah. Inilah tantangan nyata yang harus dipecahkan.
Investasi untuk Layanan yang Lebih Bermutu
Membangun budaya keselamatan di rumah sakit butuh langkah konkret. Pertama, komitmen dari pimpinan tertinggi rumah sakit untuk menandatangani dan menegakkan kebijakan K3RS. Kedua, pembentukan tim lintas profesi—dokter, perawat, teknisi, hingga staf administrasi—agar implementasi K3 tidak berjalan parsial. Ketiga, pelatihan rutin untuk seluruh pekerja serta penyediaan sarana seperti APD, alat pemadam api, dan fasilitas evakuasi darurat. Keempat, evaluasi berkelanjutan melalui audit internal maupun eksternal.
SMK3 di rumah sakit bukan beban tambahan, melainkan investasi jangka panjang. Dengan lingkungan kerja yang aman, tenaga medis bisa bekerja lebih produktif, pasien merasa lebih terlindungi, pengunjung lebih percaya, dan masyarakat sekitar lebih tenang. Ujungnya, kualitas layanan meningkat dan reputasi rumah sakit pun terjaga.
Penutup
Keselamatan adalah fondasi dari layanan kesehatan yang bermutu. Rumah sakit tidak akan pernah bisa sepenuhnya sehat bila para pekerja dan penggunanya masih dihantui risiko kecelakaan maupun penyakit akibat kerja. Maka, membangun budaya keselamatan melalui penerapan SMK3 bukanlah pilihan, melainkan keharusan.
Jika setiap rumah sakit konsisten melangkah ke arah itu, kita tidak hanya bicara tentang regulasi yang dipenuhi, tetapi juga tentang terciptanya pelayanan kesehatan yang berkelanjutan, aman, dan manusiawi.